08 Maret 2023

KAMBING ADALAH UNGGAS


















Oleh Tarli Nugroho


"Tarli, you tahu filosofi Al Fatihah?" pertanyaan itu dilontarkan oleh Dr. Hidajat Nataatmadja (1932-2009) pada sebuah obrolan Jumat lagi, nun bertahun-tahun silam, di sebuah hotel di bilangan Jalan Slamet Riyadi, Solo. 

Setiap Jumat pagi, dua kali sebulan, saya akan menemuinya di tempat itu untuk mendiskusikan sejumlah hal. Di usianya yang lebih dari tujuh dekade, lelaki kurus berkepala hampir plontos itu masih sanggup pulang pergi Bogor-Solo untuk mengajar di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Pagi itu, saya yang ditanya hanya bisa mengangkat alis.

"Al Fatihah menjadi ummul kitab karena tujuh ayat itu mengajarkan konstruksi nilai yang sangat dasar, yaitu bahwa tujuan yang baik itu (ibadah) haruslah dikerjakan dengan cara yang baik (shirathal mustaqim) dan dimulai oleh niat yang baik pula (Bismillah)," ujarnya, sembari menghisap rokok kegemarannya, Dji Sam Soe. 

"Itu konstruksi nilai yang tidak bisa ditawar. Bukan hanya dalam agama, tapi juga dalam ilmu pengetahuan. Tidak bisa niatnya saja yang baik, namun jalannya tidak baik. Begitu juga halnya dengan hasil baik, belum tentu bernilai ibadah, karena bisa jadi hasil baik itu sesungguhnya bermula dari niat yang tidak baik. Jadi, konstruksi dan konsistensi nilai tadi sangat penting," jelasnya. 

Saya mengangguk-angguk.

"Jika konstruksi nilainya tidak konsisten, mustahil kita akan sampai pada 'kebenaran'. Yang akan kita temui paling hanyalah 'kebetulan-kebetulan' belaka."

Lalu Hidajat bercerita tentang "Doktrin Instrumentalisme Friedman". Friedman yang dimaksud adalah Milton Friedman.

"Bagi Friedman, ilmuwan dianggap tidak perlu untuk menguji konsistensi logika dari suatu perangkat aksiomatika, atau asumsi dari sebuah teori, melainkan cukup menguji implikasi empiris yang diturunkan dari perangkat aksiomatik ataupun teori tersebut. Jadi, menurut Friedman, asumsi boleh saja palsu, asalkan teorinya bisa menghasilkan prediksi yang akurat. Bagi saya, itu seperti ilmu sulap, di mana orang tidak perlu menerangkan atau bertanya mengenai apa yang sebenarnya terjadi, cukup diterima saja apa yang nampak. Bagaimana tukang sulap bisa mengubah batu menjadi merpati tidak penting untuk ditanyakan. Dan batu itu bisa bernama homo economicus, bisa juga bernama pasar persaingan sempurna," ujar Hidayat, sembari terkekeh prihatin.

Pandangan Friedman yang sedang dikritik Hidajat adalah pandangan sebagaimana yang ditulis ekonom Chicago itu dalam bukunya, Essay in Positive Economics (1953), sebuah buku klasik yang juga terpajang di kamar saya sejak awal-awal kuliah dulu.

Saya teringat kembali pada percakapan dengan Pak Hidajat itu gara-gara membaca komentar-komentar yang berseliweran di timeline sejak kemarin. "Mau menteri atau bahkan presiden berkewarganegaraan apapun, saya tidak masalah, asal tidak korupsi dan sanggup menyejahterakan masyarakat". Demikian salah satunya. Lontaran itu mirip dengan pernyataan ini: "apapun ideologinya tidak penting, yang penting bisa menyejahterakan masyarakat".

Jika pernyataan-pernyataan itu dilontarkan orang awam, kita barangkali akan maklum. Tapi karena pernyataan-pernyataan itu dilontarkan oleh orang-orang yang sebenarnya sangat terdidik, tak urung dahi saya jadi berkerut.

Bagi saya, lontaran-lontaran itu tak ada bedanya dengan pernyataan, "Mau ayam atau babi, yang penting halal"; atau "Mau ayam atau kambing, yang penting unggas". Banyak orang tidak menyadari jika setiap tujuan selalu memiliki andaian mengenai cara pemenuhannya, dan setiap kategori nilai selalu memiliki batasan dan syarat. "Halal", sebagaimana halnya "unggas", adalah sebuah kategori yang memiliki batasan dan syarat, di mana baik babi maupun kambing tidak memenuhi batasan dan syarat yang telah ditetapkan itu.

Hal yang sama juga berlaku bagi "menyejahterakan masyarakat". Untuk menyejahterakan masyarakat agraris tentu saja berbeda caranya dengan menyejahterakan masyarakat pedagang; menyejahterakan masyarakat daratan berbeda caranya dengan menyejahterakan masyarakat kepulauan; menyejahterakan negara bekas koloni pasti berbeda cara dengan menyejahterakan negara bekas imperialis; demikian seterusnya. 

Persis di situ, untuk menyejahterakan masyarakat kita terikat pada hal-hal spesifik di mana tak semua kerangka generik akan bisa diterima. Singkatnya, "menyejahterakan masyarakat" merupakan sebuah kategori nilai yang pasti memiliki batasan dan syarat, di mana tak semua jalan boleh dan bisa ditempuh untuk mewujudkan nilai tersebut. Jika batas dan syarat itu dilanggar, maka kita akan ketemu kekacuan penalaran. Bagaimana bisa seekor kambing, misalnya, dianggap sama sebagai unggas?!

Negara, hukum, kewarganegaraan, ideologi, imigrasi, di atas kertas memang hanyalah soal administrasi. Tapi administrasi adalah cara manusia mematerialkan batas-batas dan syarat-syarat untuk melindungi nilai-nilai yang hidup bersamanya. Jika kebangsaan dianggap sebagai imajinasi, maka pernyataan bahwa "kita adalah anak kandung kebudayaan dunia", yang menganggap bahwa identitas kebangsaan adalah sejenis omong kosong, sesungguhnya juga tidak kalah imajiner dan omong kosongnya.

Kita memang lahir ke dunia ini dalam keadaan telanjang. Tapi dengan apa tubuh telanjang kita pertama kali akan ditutupi, dengan batik, ulos, lurik, songket, atau sasirangan, sangat tergantung pada tempat di mana kita lahir. 

Sayangnya, doktrin instrumentalisme Friedman kini sepertinya kian menyegala, tak hanya hidup dalam tembok ilmu ekonomi. Banyak orang kini tak lagi melakukan problematisasi atas keyakinannya. Konsistensi dan koherensi antara niat, cara dan tujuan tidak lagi penting untuk diperhatikan. 

Ketika orang berpikir bahwa setiap tujuan bisa menghalalkan semua cara, persis di situ saya akan teringat kembali pada obrolan dengan Dr. Hidajat mengenai filosofi ummul kitab tadi.

Jakarta, 15 Agustus 2016

30 April 2010

Sedikit Pengantar Kepada Pemikiran Hidayat Nataatmadja

Revrisond Baswir
Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM
, Yogyakarta
==========================================
Catatan: Tulisan ini adalah salah satu dari kata pengantar buku Hidayat Nataatmadja, "Melampaui Mitos & Logos: Pemikiran ke Arah Ekonomi-Baru" (2007).
==========================================


Lama menghilang, ternyata Dr. Hidayat Nataatmadja masih seperti yang saya kenal pada awal 1980-an, ketika saya masih mahasiswa. Saya ingat betul, pada awal 1980-an, di antara sekian banyak buku yang saya baca, buku-buku Dr. Hidayat termasuk yang saya perlakukan secara istimewa. Buku-buku itu, seperti Karsa Menegakkan Jiwa Agama Dalam Dunia Ilmiah, Membangun Ilmu Pengetahuan Berdasarkan Ideologi, dan Ilmu Humanika, tidak hanya mampu memberi pencerahan, tetapi secara mendasar buku-buku tersebut berhasil mendefinisikan kedudukan seorang khalifah dalam dunia ilmu pengetahuan.

Sebab itu, mendapat kesempatan menulis pengantar untuk buku seorang guru, bagi saya tidak hanya merupakan sebuah kehormatan yang luar biasa. Terutama bila saya kembali pada kedudukan saya sebagai seorang murid pada awal 1980-an, kesempatan ini terus terang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Pertanyaannya, catatan penting apakah yang perlu saya kemukakan untuk mengantarkan buku ini?

Sebagaimana akan Anda ketahui, buku ini adalah sebuah buku kumpulan tulisan Dr. Hidayat yang telah disampaikannya pada beberapa kesempatan. Dengan latar belakang seperti itu, risiko pertama yang muncul adalah munculnya kesulitan dalam menangkap tema utama yang menjadi tema buku ini. Selain itu, terjadinya resiko pengulangan juga sulit dihindarkan.

Namun demikian, sesuai dengan karakter Dr. Hidayat sebagai seorang filsuf, resiko-resiko buku kumpulan tulisan seperti itu dapat dimaklumi. Sebab, jauh lebih penting dari tema utama yang terdapat pada masing-masing tulisan adalah perspektif atau garis pemikiran yang mendasari masing-masing tulisan tadi. Sehubungan dengan itu, jauh lebih bijak bila dalam kata pengantar ini saya lebih memusatkan perhatian pada ruh yang menjiwai keseluruhan isi buku ini, bukan pada tema-tema parsial yang terdapat pada masing-masing bab.

Sebagaimana dapat dibaca pada berbagai buku Dr. Hidayat yang lain, pokok-pokok pikiran yang perlu disimak secara sungguh-sungguh dari buku ini adalah sebagai berikut.

Pertama, mengenai hubungan antara agama dengan ilmu pengetahuan. Pandangan Dr. Hidayat mengenai masalah ini merupakan hal yang paling mendasar dari seluruh pemikiran beliau. Meminjam ungkapan Dr. Hidayat, pandangan ini beliau bangun berdasarkan dogma bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah. Dalam ungkapan Islam, sebagaimana berulangkali beliau kemukakan dalam buku ini, manusia adalah khalifah Allah.

Implikasi pandangan, atau lebih tepat keyakinan, ini terhadap cara pandang Dr. Hidayat mengenai hakikat ilmu pengetahuan menjadi sangat serius. Menurut Dr. Hidayat, dalam menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan, seorang khalifah tidak dapat hanya berpijak pada kajian realitas material (ayat-ayat kauniah). Selain harus mengkaji dan memahami ayat-ayat kauniah, seorang khalifah juga dituntut untuk mengkaji dan memahami wahyu-Nya sebagaimana tertulis dalam kitab suci (ayat-ayat kauliah).

Sikap ilmiah yang dibangun berdasarkan perpaduan antara memahami kitab suci dan perilaku ciptaan-Nya itulah yang oleh Dr. Hidayat disebut sebagai Aqidah Berfikir Qurani. Menurut Dr. Hidayat, realitas yang berkembang saat ini, tidak hanya mengungkapkan telah terjadinya kekacauan dalam proses pensenyawaan kedua wilayah tersebut, lebih parah lagi, juga terjadi kekacauan pada masing-masing wilayah yang bersangkutan. Ilmu-ilmu agama, jika dapat disebut demikian, tersesat di jalan buntu kaidah berfikir Ghazalian. Sedangkan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat tersesat di jalan buntu Teori Relativitas Einstein.

Untuk menjebol kekacauan itu, satu-satunya cara menurut Dr. Hidayat adalah dengan kembali ke Aqidah Berpikir Qurani dalam arti yang sebenarnya. Untuk itu, kaidah berpikir Ghazalian harus dikawinkan kembali dengan kaidah berpikir Rusydian. Artinya, pemisahan yang selama ini terjadi antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan dan teknologi harus segera diakhiri.

Kedua, mengenai sesat pikir ekonomi neoklasik. Kritik Dr. Hidayat terhadap ekonomi neoklasik sangat berbeda dari berbagai kritik yang berkembang selama ini. Dalam membangun kritiknya, sejalan dengan Aqidah Berpikir Qurani yang menjadi pegangannya, Dr. Hidayat terlebih dahulu membedakan antara jalur berpikir intuitif, atau yang oleh Edward de Bono disebut sebagai jalur berfikir lateral, dengan jalur berpikir rasional (vertikal) yang selama ini dipakai dalam mengembangkan ilmu ekonomi neoklasik.

Sejalan dengan pendapat de Bono, menurut Dr. Hidayat, kreativitas tidak mungkin dapat dikembangkan dengan hanya berpikir rasional. Kreativitas hanya dapat dikembangkan dengan berfikir lateral. Adapun fungsi berfikir rasional pada dasarnya adalah untuk menyempurnakan inovasi yang dihasilkan oleh jalur berpikir lateral.

Berangkat dari pemilahan kedua jalur berpikir yang seharusnya merupakan satu kesatuan cara berpikir tersebut, maka kelemahan utama ekonomi neoklasik menurut Dr. Hidayat, terletak pada keterkungkungannya dalam jalur berpikir rasional. Akibatnya, jika dilihat dari segi tujuannya, tujuan ekonomi neoklasik cenderung dibatasi hanya pada pengejaran keuntungan yang sebesar-besarnya. Artinya, karena mengabaikan arti penting pemenuhan kepuasan kreatif, ekonomi neoklasik cenderung hanya mementingkan upaya pemenuhan kepuasan yang bersifat konsumtif.

Akibatnya sangat fatal. Sebagaimana diketahui, dalam kegiatan ekonomi senantiasa terdapat dua pihak yang mempunyai tujuan yang bertolak belakang. Artinya, upaya pemupukan keuntungan yang sebesar-besarnya oleh satu pihak, pasti bertabrakan dengan upaya serupa yang dilakukan oleh pihak yang lain. Hal itu dapat terjadi baik dalam hubungan antara konsumen dan produsen, maupun dalam hubungan antara buruh dan majikan. Fenomena tabrakan dua tujuan itulah antara lain yang ditemukan oleh Karl Marx ketika ia membangun kritiknya terhadap kapitalisme.

Sama seperti ketika menawarkan solusinya untuk menanggulangi kekacauan yang terjadi dalam lingkup hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan, untuk menanggulangi kesesatan ekonomi neoklasik ini, Dr. Hidayat secara tegas menandaskan perlunya penserasian kembali antara upaya mencapai kepuasan kreatif dengan upaya untuk mencapai kepuasan konsumtif. Menurut Dr. Hidayat, ini penting, sebab hanya dengan tetap mementingkan pencapaian kepuasan kreatif, nafsu untuk hanya mengejar kepuasan konsumtif dapat dikendalikan. Artinya, ilmu ekonomi yang sesuai dengan Aqidah Berfikir Qurani seharusnya dikembangkan dengan mengacu pada pencapaian dua jenis kepuasan tersebut.

Ketiga, mengenai keterpurukan bangsa Indonesia serta strategi penaggulangannya. Menurut Dr. Hidayat, keterpurukan yang dialami bangsa Indonesia, selain disebabkan oleh terjadinya kekacauan pada tingkat kaidah berpikir dan kebijakan ekonomi, tidak dapat dipisahkan dari berlangsungnya upaya terus menerus dari pihak kolonial untuk mempecundangi Indonesia. Bahkan, menurut Dr. Hidayat, hal itu sudah berlangsung secara sistematis sejak dicapainya kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar pada 1951.

Menurut Dr. Hidayat, hasil kesepakatan KMB yang mengakui kedaulatan Indonesia secara bersyarat tersebut, alih-alih dipahami sebagai Kemenangan Perang Kemerdekaan, justru lebih tepat dipahami sebagai Kekalahan Perang Kemerdekaan.

Kekalahan itu tidak hanya tampak pada adanya kewajiban membayar pampasan perang sebesar US$2,5 miliar, tetapi juga pada disanderanya Irian Barat (Papua) hingga lunasnya pembayaran pampasan perang tersebut.

Celakanya, perlawanan Soekarno terhadap pihak kolonial, justru berakibat pada dilakukannnya tindakan yang lebih bengis oleh pihak kolonial dengan cara menjatuhkan Soekarno. Akibatnya, pasca kejatuhan Soekarno, antara lain melalui penyebaran jerat utang, pihak kolonial kembali leluasa memaksakan kehendaknya di Indonesia. Bahkan, belakangan, melalui beberapa lembaga ekonomi internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan Organisasi Perdanganan Dunia (WTO), pihak kolonial secara sistematis berusaha menaklukkan dunia semata-mata untuk memaksimalkan kepuasan konsumtifnya.

Untuk menjebol keterpurukan itu, melalui Aqidah Berfikir Qurani, maka menurut Dr. Hidayat tidak ada pilihan lain bagi bangsa Indonesia selain berusaha membangun kesejahteraan rakyat melalui penyelenggaraan Sistem Ekonomi Kerakyatan. Fokus Sistem Ekonomi Kerakyatan menurut Dr. Hidayat terletak pada pengembangan sektor mayoritas (sektor pertanian). Dr. Hidayat menyebut modus ini sebagai Modus Pembangunan Dorong Gelombang. Adapun ciri-cirinya antara lain adalah bersifat berkelanjutan dan bebas dari kemiskinan struktural.

Menyimak ketiga pokok pemikiran tersebut, dapat disaksikan betapa mendasarnya pandangan yang dikemukakan oleh Dr. Hidayat melalui buku ini. Dengan mengatakan hal itu, dengan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada Dr. Hidayat, sama sekali bukan maksud saya untuk mengatakan bahwa seluruh pemikiran yang tertuang dalam buku ini dapat disederhanakan menjadi ketiga pokok pikiran tersebut. Sebagaimana dapat disimak pada masing-masing tulisan yang dikumpulkan dalam buku ini, wilayah yang dijangkau oleh Dr. Hidayat jauh lebih luas daripada yang telah saya kemukakan tadi.

Sebab itu, untuk tidak berpanjang-panjang, saya kira ada baiknya bila kata pengantar ini saya cukupkan sampai di sini. Selamat membaca.