26 April 2010
Jejak Pemikiran Hidayat Nataatmadja dalam Perkembangan Pemikiran Ilmu Ekonomi Kontemporer
Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada (FEB, UGM), Yogyakarta, Jurusan Ilmu Ekonomi.
Krisis teori Ilmu Ekonomi telah terjadi sejak ia terlepas dari filsafat sosial pada akhir abad ke-18. Berbeda dari masa awal terbentuknya, teori ilmu ekonomi ada dan berfungsi untuk mencari kebenaran. Dalam kenyataan kekinian teori ekonomi saat ini ada atau diadakan untuk dibenarkan. Asumsi dalam teori ekonomi yang berfungsi sebagai batasan dan syarat berlakunya teori tersebut dalam kenyataan, ternyata telah dimaknai sebagai sebuah aksioma yang benar dengan sendirinya (Nataatmadja, 2007). Ketertutupan terhadap kritik, menjadikan ilmu ini lepas dari tujuannya sebagai ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam hal pemenuhan kebutuhan. Menjadikan ilmu ini semakin jauh dari kenyaataan, sekaligus memperlebar jurang perbedaaan antara teori yang ada dan berlaku saat ini dengan kenyataan yang terjadi.
Gerakan-gerakan atas dasar kepedulian terhadap perkembangan ilmu ekonomi untuk mengembalikan ilmu ekonomi pada spirit awalnya dan mempelajari fenomena ekonomi sebagaimana adanya telah dilakukan oleh banyak pemikir ekonomi. Gerakan tersebut di maknai sebagai sebuah ’makar’ terhadap ilmu ekonomi oleh mayoritas ekonom yang merasa nyaman dengan keberadaan ilmu ekonomi saat ini. Bahkan gerakan yang dilakukan oleh pemikir-pemikir ekonomi itu sendiri. Pada akhirnya para pembaharu ini di cap sebagai bukan ekonom. Diantaranya adalah Max Weber yang dianggap sebagai sejarawan ekonomi, John Kenneth Galbraith dan Robert Heilborner yang diangggap sebagai sosiolog, Kenneth Boulding yang dianggap sebagai filsuf, Karl Marx yang disebut sebagai kritikus sosial dan Hazel Handerson yang lebih dikenal sebagai futuris (Chapra, 2000).
Dalam konteks Indonesia gerakan ini juga telah dilakukan oleh Hidayat Nataatmadja. Apa yang didapatkan beliau tidak jauh berbeda dengan para pembaru ilmu ekonomi lainnya, bahkan mungkin lebih mengerikan. Tidak sedikit ilmuwan Indonesia menyebut tindakan yang dilakukan Hidayat sebagai sesuatu yang mustahil, tidak masuk akal dan tidak ilmiah. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai ilmuwan gila, sinting, bodoh dan julukan lainnya yang sebenarnya tidak patut di ucapkan oleh seorang ilmuwan. Padahal latar belakang dan perjalanan intelektual Hidayat tidak jauh dari ilmu ekonomi.
Pembebasan Ilmu Ekonomi
Menurut Peter F. Drucker, dalam sejarah perkembangannya, ilmu ekonomi telah mengalami empat kali perubahan besar di dalam pandangan dunianya. Pertama, pada masa Merkantilisme di abad ke-17, kedua pada masa fisiokrat, dimana ilmu ekonomi telah menjadi disilin ilmu tersendiri dan dikenal dengan ilmu ekonomi klasik, ketiga pergeseran ilmu ekonomi klasik menuju ilmu ekonomi neoklasik di paruh kedua abad ke-19 dan keempat revolusi ilmiah oleh Keynes.
Ilmu ekonomi neoklasik inilah yang menjiwai ilmu ekonomi dan dianut ekonom sampai saat ini. Sekaligus menandai pergeseran dari pengikut David Ricardo menjadi pengikut Leon Walras atau Madzhab Austrian. Pergeseran filosofis dari ’nilai’ menjadi ’kegunaan’, dari kebutuhan manusia (human needs) menuju keinginan manusia (human wants) dan dari struktur ekonomi menjadi analisa ekonomi (Drucker, 1987). Pergeseran tersebut tidak terlepas dari kemenangan rasuonalisme dan ilmu pengetahuan pada masa itu. Ditandai dengan pertama munculnya Gerakan Pencerahan (Enlightment,Aufklarung) yang dipelopori oleh gagasan dasar rasionalisme moderen melalui dua semboyan dari Rene Descrates yaitu ’cogito ergo sum / saya berfikir, maka saya ada’ dan dari Francis Bacon yaitu ’knowledge is power / pengetahuan adalah kekuasaan’, dan kedua terbitnya karya Newton, Philosophiae Naturalis Principia Mathematics pada tahun 1687 (Ormenod, 1997).
Kemenangan tersebut menjadikan Fisika Newton dan paradigma Descrates menjadi tolak ukur kadar keilmiahan perkembangan disiplin ilmu pada abad ke-19. Semakin dekat suatu ilmu dengan kedua hal tersebut semakin tinggi posisi disiplin ilmu tersebut. Ilmu ekonomi menjadi disiplin ilmu yang paling banyak terpengaruhi, melalui pencontohan konsep dan teori Fisika dan adopsi paradigma Descrates. Hal ini dilakukan untuk mengikuti jejak sukses ilmu Fisika (Ormenod, ibid). Tak berlebihan jika kemudian Philip Mirowski berpendapat bahwa ”Economics as Social Physics, Physics as Nature's Economics”.
Padahal, menurut Capra evolusi dinamis ekonomi yang digambarkan dalam ilmu ekonomi berbeda dengan cakupan ilmu Fisika klasik yaang berlaku untuk rentang fenomena alam yang terumuskan dengan jelas dan statis. Sedangkan pola ekonomi terus berubah-ubah sesuai dengan sistem ekologi sosial yang berlaku. Kerangka tersebut seakan tidak diperhatikan. Para ekonom masih terpesona oleh keketatan paradigma Descrates dan kenggunan model Newton. Yang terjadi adalah ilmu ekonomi tidak pernah bersentuhan dengan realitas ekonomi dewasa ini (Capra, 2000). Terbukti dengan ketidakmampuan ilmu ekonomi neoklasik dalam memprediksi dan mengatasi depresiasi besar yang terjadi tahun 1930-an.
Terbelenggunya ilmu ekonomi dalam bingkai fisika Newtonian, diantaranya bisa dilihat dari model keseimbangan umum dan penyatuan metodologi dalam ilmu pengetahuan yang bertitik tolak dari gagasan menciptakan ilmu ekonomi sebagai ilmu alam dan bisa dibandingkan dengan Fisika Newton oleh Leon Walras (Sugihardjanto, 1995). Pengertian kuantitas uang beredar dan kecepatannya dalam peredaran yang dicetuskan William Petty dan fondasi ekonomi moderen yang dibangun oleh John Locke tentang masyarakat manusia yang atomistik serta hukum persedian dan permintaan yang kesemuanya dipengaruhi oleh Newton dan Descrates (Capra, 2000). Bahkan belenggu tersebut masih mengikat, terbukti dengan diraihnya Nobel ekonomi 2003 oleh Robert F. Engle (New York University) dan Clive W.J. Granger (University of California) yang menggunakan mekanika statistika dalam analisis data deret waktu sistem ekonomi keuangan. Prestasi tersebut semakin meneguhkan penyatuan ilmu ekonomi dengan ilmu fisika, yang lemudian dikenal dengan istilah ekonofisika. Belenggu itu juga dirasakan oleh Hidayat dan telah berdampak pada ketimpangan, keterbelakangan, ketidakadilan, ketertindasan dan bentuk bentuk-bentik lain yang mencerminkan penguasaan sebagian kecil anggota masyarakat atas mayoritas. Terlihat jelas dalam model pasar persaingan sempurna dengan ciri ketidakmampuan dalam mengendalikan harga, mobilitas sempurna peredaran modal dan informasi simetris bagi pelaku ekonomi. Menurut Hidayat konsep yang dicetuskan Alfred Marshall ini, sebenarnya adalah adopsi teori fisika yang dicetuskan oleh Robert Boyle tentang ciri gas ideal di suatu ruang tertutup yang secara bersama mampu menentukan keadaan kesetimbangan agregat. Dengan demikian menurut Hidayat ilmu ekonomi sebenarnya lebih cocok disebut sebagai ’Ilmu Ekonomi Boyle’ (Nataatmadja, 2007).
Seharusnya ekonom tidak mentah-mentah memasukkan konsep ilmu fisika dalah ilmu ekonomi. Tetapi mampu mengambil spirit yang dilakukan oleh Descrates dan Newton dalam merapikan ilmu kebendaan yang berantakaan pada saat itu dan mampu menemukan landasan ilmu kebendaan yang bersifat universal. Tidak seperti ilmu sosial yang terkotak-kotak dan seolah-olah tidak memiliki hubungan satu sama lain. Hal tersebut dikuatkan oleh fakta historis ilmu ekonomi yang menyerupai konsep Descrates dalam hal konsep hakekat filsafat yang di gambarkan oleh Adam Smith. Penemuan ini menyerupai landasan Newtonian dalam ilmu sosial. Dalam perkembangannya bisa dilihat dari dominasi ilmu ekonomi atas ilmu sosial lainnya (Nataatmadja, 1981). Dengan demikian, pola hubungan antar ilmu tidak lagi saling menguasai tetapi, saling ketergantungan dan saling menyempurnakan. Termasuk dalam hubungan antara Ilmu Ekonomi dengan Ilmu Fisika.
Karakterisik Ilmu Ekonomi Masa Depan
Dibandingkan dengan ilmu sosial lainnya, ilmu ekonomi menjadi lebih maju dengan menggunakan matematika dan statistika. Ekonom pun membanggakan diri bahwa ilmunya tidak kalah dengan ilmu eksak. Menjadikan ilmu ekonomi bersifat valueless atau wertfrei, seperti halnya ilmu eksak (Partadiredja, 1981). Segala sesuatu menjadi bermakna ketika dapat diukur dan sebaliknya. Dalam kehidupan praksis, berakibat pada alokasi pengunaan tenaga lebih banyak digunakan untuk menciptakan model -model ekonometri daripada untuk merumuskan kebijaksanaan ekonomi. Inilah yang disebut sebagai dosa pembangunan dan berakibat pada pemujaan terhadap angka (Haq, 1983).
Bagi Hidayat Nataatmadja kebutuhan untuk mencari dan menemukan teori ekonomi baru, bukan semata-mata karena teori ekonomi kontemporer bertentangan dengan filsafat manusia atau lebih khusus lagi bertentangan dengan dasar negara Indonesia (Pancasila), tetapi juga karena orang barat sendiri sudah muak dengan teori ekonomi yang ada saat ini. Keberadaan teori ekonomi saat ini tidak terlepas dari perkembangan sejarah ilmu pengetahuan barat yang bertolak dari konflik agama. Sehingga sejak awal ilmu pengetahuan barat telah memisahkan diri dari agama. Inilah yang kemudian dikenal dengan konsep netralitas ilmu dalam ilmu pengetahuan (Nataatmadja, 1981). Teori ekonmi yang diajukan pun bukanlah sesuatu yang baru, bahkan sama dengan yang ada di buku-buku standar Perguruan Tinggi. Yang berbeda adalah landasan filsafatnya, menjadikan landasan moral agamawi menjadi kunci utama teori ekonomi. Teori baru ini masih menggunakan bentuk matematis, tetapi tidak mendewakannya. (Nataatmadja, 1984a).
Menurut Hidayat, teori ekonomi saat ini didasarkan pada keperilakuan manusia sebagai homo economicus, yakni manusia sebagai binatang berakal yang mencari kepuasan konsumtif sebesar-besarnya untuk kepentingannya sendiri tanpa perduli dengan orang lain. Model homo economicus inlah yang kemudian diturunkan menjadi model pasar persaingan sempurna (Nataatmadja, 1982). Model tersebut bertentangan dengan kenyataan manusia yang secara fitrah memiliki motivasi kreatif dalam setiap diri, motivasi untuk mendayagunakan dirinya untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi yang lainnya (Nataatmadja, 1981).
Teori baru dibanguan dengan mengganti teori kepuasan konsumtif utilitarian dari Smith menjadi teori kepuasan kreatif. Karena kepuasan kreatif adalah khas manusia, langsung bisa dikaitkan dengan ajaran agama, menghasilkan kebahagian kreatif yang bersifat spiritual, bersifat aditif (Nataatmadja, 1981). Dengan demikian ilmu ekonomi memiliki ketergantungan terhadap ilmu agama (Nataatmadja, 1984b). Agama mengajarkan bahwa kesadaran spiritual lebih tinggi dari kesadaran materialistik. Artinya, kepuasan konsumtif seharusnya di subordinasikan pada kepuasan kreatif. Ditempuh dengan jalan menghadirkan kepentingan kosmik dan kepentingan humanistik sebagai citra manusia yang lebih tinggi, tanpa mengabaikan kepentingan diri (Nataatmadja, 1981).
Pelaku ekonomi tidak lagi sebagai homo economicus, tetapi homo mysticus atau homo metafisikus. Karena sifat dari kepuasan kreatif dan kepuasan konsumtif adalah berpasangan Hidayat masih menggunakan model ’pasar persaingan sempurna’ tetapi dengan definisi yang berbeda yaitu pasar yang dikelola dan dijalankan oleh manusia-manusia bermoral sempurna, yang bersaing dalam proses kreatif, mampu menegakkan asa ’silih asah, silih asih, silih asuh’ demi kepentingan bersama. Teori ekonomi riil adalah teori ekonomi yang turut membawa masyarakat ekonomi ke arah kesempurnaan itu. Dengan sepenuhnya menyadari prakondisi moral yang berlaku di masyarakat (Nataamadja, 1984a).
Dengan perubahan dasar filsafat manusia pada ilmu ekonomi, maka definisi ilmu ekonomi pun juga ikut berubah. Ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari bagaimana mengaktualisasikan fitrahnya sesuai dengan ajaran agama, khususnya dalam pendayagunaan sumberdaya yang langka dan memiliki berbagai alternatif pendayagunaan, dengan tujuan agar manusia dapat mengambil hikmah dan manfaat yang sebeser-besarnya demi kepentingan kehidupan umat tanpa melupakan kewajiban untuk menjaga kelestarian sumberdaya yang ada (Nataamadja, 1984b).
Kreativitas dalam Ilmu Ekonomi
Pengakuan terhadap keterkaitan antara kreativitas dengan ilmu ekonomi mengemuka ketika John Howkins, menggunakan kedua konsep tersebut sebagai judul bukunya yaitu ‘The Creative Economy: How People Make Money From Ideas’ (2001). Ekonomi kreatif inilah yang menjadi menjadi sumber pertumbuhan ekonomi global saat ini, menggantikan bentuk ekonomi sebelumnya yaitu ekonomi pertanian, ekonomi industri dan ekonomi informasi. Dengan kata lain ekonomi kreatif adalah toggak utama munculnya ekonomi gelombang keempat.
Salah satu metode untuk menganalisis struktur dan fungsi kreativitas dalam perekonomian adalah dengan value-chain analysis. Metode ini merupakan bentuk yang paling sederhana, model analisis dari rantai produksi kreatif berawal dari ide kreaif yang dikombinasikan dengan input lainnya untuk memproduksi barang kreatif maupun jasa yang meningkatkan nilai tambah hingga barang tersebut memasuki pasar dan saluran distribusi hingga akhirnya menjangkau konsumen akhir. Kelebihan dari pendekatan ini adalah bahwa model ini lebih sensitif pada perilaku individu dan hubungannya dengan institusi, jaringan dan tata kelola (governance) mereka.
Menurut Hidayat, teori kreativitas muncul di tangan Einstein. Hakekat terjadinya kreativitas dapat dicari dari penjelasan Gerard Holton. Kreativitas mempunyai arti metafisik non rasional Proses terjadinya kreativitas adalah tahap dari perpindahan totalitas pengalaman langsung (keindraan) menuju sistem aksioma, tahap ini adalah ‘lompatan’, bukan melalui jalur logika melainkan jalur intuisi yang ditunjang oleh rasa simpati dan bersentuhan dengan pengalaman. Kemudian diturunkan pada teorema-teorema turunan, tahap ini menempuh jalur logika yang bersifat deduktif (Nataamadja, 1981).
Berangkat dari sebuah kesadaran dan motivasi kreatif, aktivitas konsumsi bukan lagi semata-mata untuk konsumsi melainkan untuk meningkatkan kreativitas (Nataamadja, 1981). Produksi adalah kreativitas yang di dharmabaktikan bagi kepuasan siap kreasi. Artinya, siap berkreasi setelah melakukan aktivitas konsumsi. Kepentingan bersama, diarahkan pada pembinaan diri dalam persiapan kreasi yang akan menghasilkan (Nataamadja, 1984b). Inilah yang akan menjadi dasar ilmu kewiraswastaan atau kewiraan (Nataamadja, 1981). Dengan konsep kreativitas menurut Hidayat ini, value-chain analysis akan disempurnakan menjadi creative circle. Satu proses kreativitas yang tidak terputus oleh kegiatan konsumsi, melainkan mampu menghasilkan efek pengganda dalam ektivitas ekonomi.
Teori kepuasan kreatif, menurut Hidayat akan membawa suatu sistem sosial ke suatu keseimbangan dinamis dan kesejahteraan sosial. Konsep ini sejalan dengan konsep hubungan kreativitas dengan pertumbuhan ekonomi yang pernah dicetuskan oleh Joseph Schumpeter. Jika menurut Hidayat kreatifitas bersifat aditif, kreatifitas akan memunculkan proses imitatif dalam masyarakat, menurut Schumpeter.
Kesimpulan
Perlahan tapi pasti, jejak pemikiran Hidayat dalam ilmu ekonomi telah menemukan relevansinya dengan apa yang terjadi dalam perkembangan teori ekonomi belakangan ini. Pengakuan terhadap peran suatu nilai atau norma yang berlaku dalam mesyarakat dalam kehidupan ekonomi telah membentuk sebuah cabang ilmu ekonomi baru yang di sebut New Institutional Economics (NIE). Pentingnya mempertimbangan perilaku manusia dalam aktivitas ekonomi telah membentuk behavioral economics dan neuroeconomics. Dan yang talah pentingnya adalah pengakuan kontribusi kreativitas dalam perekonomian global yang kemudian di sebut creative economy.
Sebagai seorang ilmuwan dan ekonom, Hidayat telah ikut meletakkan dasar konsep dalam perkembangan ilmu ekonomi diatas. Berperan serta dalam mempercepat proses terbentuknya gelombang ekonomi keempat dalam masyarakat ekonomi sekaligus dalam meletakkan dasar munculnya revolusi ilmiah ke lima dalam ilmu ekonomi. Cara berfikir seperti Hidayat inilah yang seharusnya dimiliki oleh ekonom saat ini, yaitu mampu mencari titik keseimbangan antara berfikir kritis analitik dalam menganalisa masa kini dan metefisik filsafati untuk meramal masa depan ( Mubyarto, 1981). Tidak mengherankan pula jika krisis keuangan global yang terjadi saat ini sudah lama diramalkan akan terjadi oleh Hidayat, sebagai akibat aktivitas pasar keuangan derivatif (Nataamadja, 1984b).
Bagi Hidayat, dasar pemikiran yang telah di tinggalkan ini tidak lebih dari jalan baru yang dirintis dan sebagai undangan untuk generasi penerus dalam perbaikan ilmu ekonomi kedepan. Seperti yang pernah beliau sampaikan :
Sulit bagi Anda untuk menyimak kedalaman masalah yang saya ungkapkan mengenai pikiran manusia sebagai penjara manusia, karena teknik keilmuan yang saya pergunakan merupakan sintesa antara tassauf yang paling isoterik dengan filsafat yang paling abstrak rasional. Mungkin saya memang tidak mampu menjelaskan secara tuntas kepada anda semua, dan saya menunggu kehadiran orang-orang lain untuk turut berkiprah menjelaskan permasalahan itu kepada kita semua(Nataamadja, 1984b).
Referensi
Bell, Daniel dan Irving Kristol (Ed.). 1988. Krisis Teori Ekonomi (terj. The Crisis in Economic Theory). Jakarta. LP3ES.
Boediono. Teori Pertumbuhan Ekonomi. BPFE UGM Yogyakarta. 1982.
Capra, Fritjof. 2000. Titik Balik Peradaban, Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan (terj. The Rurning Point, Science, Society, and The Rising Culture). Yogyakarta. Yayasan Bentang Budaya.
Capra, Fritjof. 2003. The Hidden Connections : Strategi Sistemik Melawan Kaplitalisme Baru (terj. The Hidden Connections : A Sciece for Sustainable Living). Yogyakarta. Jalasutra.
Dopfer, Kurt (Peny.). 1983. Ilmu Ekonomi di Masa Depan, Menuju Paradigma Baru (terj.Economics in The Future). Jakarta. LP3ES.
Gordon , David. More Heat Than Light: Economics as Social Physics, Physics as Nature’s Economics By Philip Mirowski. The Review of Austrian Economics, Vol. 5, No. 1. Book Review.
Haq, Mahbub Ul. 1983. Tirai Kemiskinan, Tantangan-Tantangan Untuk Dunia Ketiga (terj . Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Howkins, John. 2005. The Creative Economy: Knowledge-Driven Economic Growth. Asia-Pacific Creative Communities: A Strategy for the 21st Century.
Mubyarto. 1979. Gagasan dan Metode Berfikir Tokoh-Tokoh Besar Ekonomi dan Penerapannya Bagi Kemajuan Kemanusiaan. Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.
Nataatmadja, Hidayat. 1981. ”Karsa Membangun Ilmu Ekonomi Pancasila” dalam Mubyarto dan Boediono (ed). Ekonomi Pancasila, BPFE, Yogyakarta, hal 21-48.
Nataatmadja, Hidayat. 1981. ”Penjelajahan di Dunia Filsafat Sebagai Bahan Perbandingan Untuk Melangkah Membangun Ekonomi Pancasila” dalam Abdul Madjid dan Sri Edi Swasono (ed). Wawasan Ekonomi Pancasila, UI Press, Jakarta, hal. 97-121.
Nataatmadja, Hidayat. 1982. Karsa Menegakkan Jiwa Agama Dalam Dunia Ilmiah, Versi Baru Ihya Ulumuddin. Bandung: Iqra.
Nataatmadja, Hidayat. 1984a. Ilmu Humanika. Bandung : Risalah.
Nataatmadja, Hidayat. 1984b. Pemikiran Kearah Ekonomi Humanistik, Suatu penghantar Menuju Citra Ekonomi Agamawi. Yogyakarta: PLP2M.
Nataatmadja, Hidayat. 1984. ”Trias Paradigmatika : Sumber Kerancuan yang Tersembunyi” dalam Nataajmadja, Hidayat dkk. 1984. Dialog Manusia, Falsafah, Budaya, dan Pembangunan, YP2LPM, Malang, hal. 1-48.
Nataatmadja, Hidayat. 1985. ” Masalah Kemiskinan Ditinjau Dari Ajaran Islam” dalam Proyono, AE dkk. 1985. Islamisasi Ekonomi, Suatu Sketsa Evaluasi dan Prospek Gerakan Perekonomian Islam, PLP2M, Yogyakarta, hal. 105-111.
Nataatmadja, Hidayat, Sri Edi Swasono dan Tarli Nugroho. 2007. Indonesia Bergerak, Agenda Menuju Kebangkitan. Yogyakarta: LANSKAP.
Ormenod, Paul. 1997. Matinya Ilmu Ekonomi (terj. The Death of Economics). Jakarta. Kepustaan Populer Gramedia (KPG).
Park, Jang Woo dan Paul J. Zak. 2004. Neuroeconomics Science.
Partadiredja, Ace. 1981. Ekonomika Etik. Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.
Sen, Amartya. 2001. Masih Adakah Harapan Bagi Kaum Miskin? (terj. On Etics and Economics). Bandung. Mizan Media Utama.
Sugihardjanto, Ali. 1995. ”Ekonomi Multidimensi, Suatu Perspektif Baru” dalam Prisma No.2.1995. Etika Bisnis dan Globalisasi Ekonomi, LP3ES, Jakarta, hal.3-14.
Surya, Yohanes. Ekonofisika dan Nobel Ekonomi 2003.
Yustika, Ahmad Erani. 2008. Ekonomi Kelembagaan : Definisi, Teori dan Strategi. Malang. Bayumedia.
Zak, Paul J. 2004. Neuroeconomics. The Royal Society.
Ode untuk Hidayat
Dosen Jurusan Sosiologi FISIPOL UGM
Tidak banyak generasi muda muslim yang mengenal Dr. Ir. Hidayat Nataadmaja (lahir di Serang, Banten, 15 September 1932). Apalagi cendekiawan muslim lulusan Universitas Hawaii ini banyak melontarkan gagasan-gagasan orisinal dan reformisnya pada dekade 1980-an, sebuah periode yang telah lama lewat. Pada tahun-tahun itu Hidayat Nataadmadja dikenal sebagai salah seorang cendekiawan muslim kenamaan, sama seperti Kuntowijoyo, A.M. Saefuddin, Amien Rais, Immaddudin Abdurahim, Dawam Rahardjo, dan lain-lain. Di masa itu pikiran-pikirannya, selain dituangkan dalam puluhan buku yang ditulisnya (seperti Karsa Menegakan Jiwa Agama dalam Dunia Ilmiah [1982], Pemikiran ke Arah Ekonomi Humanistik [1984], dan Kebangkitan Al-Islam [1985]), juga muncul dalam berbagai diskusi dan seminar, salah satunya adalah pada sebuah acara Dialog Ramadhan yang saya ikuti, yang berlangsung pada sebuah minggu pagi di kampus UGM, lebih dari dua dekade silam.
Sebagai mahasiswa baru, saya waktu itu belum begitu memahami gagasan-gagasannya yang penting dan banyak diperbincangkan orang. Selama memperkenalkan gagasan-gagasan orisinalnya kepada publik, berbagai cemooh, dan pandangan kontra dari berbagai kalangan, kerap dia peroleh, terutama dari sesama pemikir yang sejak awal tak berminat memahami gagasannya, melainkan lebih mengedepankan sikap apriori bahkan curiga terhadapnya. Penulis sendiri awalnya, setelah lama tidak mendengar namanya di berbagai forum diskusi, tidak juga tergerak untuk mencari tahu apa dan bagaimana corak pemikiran Hidayat Nataadmadja. Namun, setelah saya gemar membaca karya-karya yang menggugah dari pemikir-pemikir kenamaan dunia, seperti Marx, Kuhn, Gurdjief, Capra, Gary Zukav, dan lain-lain, teringat kembali oleh saya nama Hidayat Nataadmadja. Ketika itu penulis mulai bertanya-tanya kepada diri sendiri tentang ide-ide seperti apa yang pernah dikemukakan Hidayat Nataadmadja di tahun 1980-an, serta apa yang spesifik pada gagasannya sehingga menjadi diskusi banyak orang ketika itu.
Diawali dengan membaca sebuah buku koleksi pribadi karya Hidayat Natadmadja berjudul Kebangkitan Al-Islam (1985), saya mulai menelusuri pemikiran yang pernah dikemukakannya di tahun ’80-an itu. Di dalam buku itu ternyata terdapat gagasan-gagasan mendasar yang penting untuk direnungkan dan ditelaah secara mendalam. Tesis besar pemikirannya adalah bagaimana mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan agama. Dalam konteks itu ia tidak membicarakan agama dalam arti ritual, namun ia lebih banyak melihat agama dari sisi hakikat ketuhanan. Integrasi semacam itu begitu penting menurutnya, dan upaya dan perdebatan kearah itu sesungguhnya pernah berlangsung di dalam tradisi pemikiran Islam, misalnya tercermin dalam dialog antara Mazhab Ghazalian yang mewakili pandangan keagamaan yang dogmatis, dan Rushdian yang mewakili pemikiran rasional. Perdebatan dua mazhab pemikiran itu berakhir dengan pemisahan satu dengan yang lainnya, bukan dengan pengintegrasian.
Beberapa isu relevan yang dikemukakan dalam pemikirannya, adalah obyektivitas versus subyektivitas. Baginya obyektivitas berbicara mengenai kenyataan yang ada di luar diri manusia, sedangkan subyektivitas berbicara tentang segala hal yang menyangkut dunia subjektif manusia. Dalam pandangan Hidayat, tidak ada kompas terbaik yang dapat mengenali dan mengarahkan dunia subjektif manusia kecuali hanya wahyu tuhan (Al-Quran). Oleh sebab itu, rasionalitas manusia tidak dapat dijadikan kompas dan alat yang memadai untuk memahami dunia subjektif manusia. Seperti dikemukakannya, ”Jangan sekali-kali anda menggunakan jalur pendekatan rasional untuk mengenal ilmu subyektif, karena kalbu mencerminkan mekanisme spiritual yang menghubungkan Ruh dengan Al-Khalik dan mustahil hubungan itu berlangsung melalui jalur komunikasi rasional.”
Obyektivitas karenanya bukan sesuatu yang dapat berdiri sendiri tanpa subyektivitas. Obyektivitas dan subyektivitas merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Karena tanpa keyakinan atau pembenaran subyek, obyektivitas tidak pernah ada. Perdebatan obyektivitas versus subyektivitas yang dikemukakannya sebenarnya membawa kritik terhadap empirisisme yang sering kali dijadikan dasar kebenaran ilmu pengetahuan.
Dengan mengambil inspirasi dari hukum indeterminisme Heisenberg, yang menunjukkan variasi atau tingkatan-tingkatan kenyataan, seperti benda-sebagaimana-dipikirkan, benda-sebagaimana-dirasakan, dan benda-sebagaimana-adanya. Gagasan ini melahirkan makna pluralitas kepribadian, yaitu (1) anda menurut pikiran anda; (2) anda menurut perasaan anda; dan (3) anda apa adanya. Hidayat menunjukkan adanya jenjang-jenjang kesadaran yang diturunkannya dari hukum keperiadaan kedirian. Pertama, adalah kesadaran keperilakuan (behavioural). Pada tingkat keperilakuan, manusia hanya sadar dalam arti keperiadaan materi, kesadaran semu, kesadaran Marxian, alias kesadaran yang tenggelam dalam dunia materi. Kedua, tingkat keperirasaan (supra-sensual). Pada tingkat keperirasaan ini, baru manusia mengenal kemandirian kesadaran dirinya, bahwa kesadaran lebih tinggi dari pada sekedar hasil rangsangan inderawi dan pengalaman empiris. Di level ini, manusia mulai bisa mengalami bagaimana dengan kesadarannya dia bisa mengatasi dan menaklukkan dunia empiris, bisa melepaskan diri dari belenggu dan perangkap dunia materi. Ketiga, tingkat keperiadaan (eksistensi). Pada tingkat keperiadaan manusia menyadari hakekat dirinya sebagai makhluk yang di-ada-kan. Dia mulai mengenal eksistensi ketuhanan yang menciptakannya. Sampailah ia pada pengalaman iman, takwa dan tauhid.
Memahami jenjang-jenjang kesadaran dan keunikan sistem kedirian sebagaimana dikemukakan di atas merupakan sesuatu yang dapat menjadi landasan berpikir yang penting sekali. Terutama sebagai acuan untuk merumuskan konsep pemikiran yang lebih utuh tentang berbagai dimensi yang terdapat pada diri manusia. Tiga jenjang kesadaran manusiawi itu perlu dielaborasi lebih lanjut ke dalam berbagai bidang keilmuaan, terutama ilmu sosial dan humaniora. Pandangan konseptual ini akan memperkaya, memperluas pilihan-pilihan yang bisa diformulasikan dan diacu untuk mendorong perbaikan kualitas kemanusiaan. Konsep-konsep tersebut pada akhirnya akan berpengaruh terhadap aspek kelembagaan yang menjadi lingkungan sosial kehidupan manusia.
Gagasan-gagasan yang telah dikemukakan Hidayat sesungguhnya perlu dielaborasi dan dikembangkan lebih lanjut. Pertanyaan-pertanyaan lanjutan masih perlu digulirkan. Konsep-konsep dan teori-teori juga perlu dikembangkan berdasarkan gagasan-gagasan dasar yang berhasil dirumuskannya. Tanpa usaha dan komitmen untuk mendayagunakan warisan pemikirannya, bisa dipastikan bahwa warisan pemikiran yang merupakan hasil perenungan dan kerja intelektualnya yang panjang itu akan menjadi sia-sia. Oleh sebab itu, untuk mendayagunakan warisan pemikirannya secara maksimal berbagai langkah perlu secepatnya dilakukan, antara lain dengan membangun pusat studi yang menghimpun berbagai karya intelektual yang dihasilkannya, membentuk komunitas ilmiah yang terus menerus mengkaji dan mendiskusikan warisan pemikirannya, dengan demikian sehingga gagasan pemikirannya berevolusi. Selain itu, menstimulasi generasi muda untuk mengenal dan memahami pemikirannya dengan emosi ketuhanan.
Hidayat Nataatmadja, pemikir asketik itu, yang buah-buah pemikiran cemerlangnya hingga kini belum juga disadari oleh publik kesarjanaan tanah air, telah berpulang pada Selasa, 13 Januari 2009 lalu, di kediamannya di Bogor. Dia masih produktif menuliskan gagasannya hingga akhir hayatnya. Hampir sepuluh buah buku ditulisnya dalam lima tahun terakhir. Saat berpulang, dia masih mengerjakan dua buku yang belum sempat diterbitkan. Mengingat buah kerjanya, kepergian Hidayat seharusnya merupakan sebuah kehilangan besar bagi kita, tapi nyatanya setelah lewat 40 hari (22/02/09) tidak ada satu obituaripun yang mengantarkan kepulangannya.
Selamat jalan, Pak Hidayat!
Ilmu dan Pengetahuan dalam Krisis dan Kritik
Selain karya-karya berupa buku yang ditulisnya sendiri, Hidayat Nataatmadja (1932-2009) menulis banyak karangan yang tersebar di sejumlah media cetak, baik koran, majalah, jurnal, maupun buku-buku bunga rampai. Karangan-karangan berserak itu jumlahnya sangat banyak, dan Hidayat sendiri kebanyakan tidak mencatatkannya. Sejak lima tahun silam, Pusat Kajian dan Dokumentasi Karya Hidayat Nataatmadja berusaha untuk mengumpulkan karangan-karangan itu. Karya-karyanya yang berupa buku umumnya telah tersimpan cukup baik di banyak perpustakaan, baik perpustakaan-perpustakaan universitas, maupun lembaga-lembaga kajian. Untuk membantu mereka yang hendak serius mengkaji pemikiran Hidayat, serta para peneliti yang tertarik untuk meneliti alam pikiran dunia kesarjanaan Indonesia dekade 1970-80an, kami mencoba untuk membundelkan arsip-arsip tulisan Hidayat yang berserak itu dalam sebuah bundel. Bundel ini adalah jilid kedua dari arsip kumpulan karangan Hidayat Nataatmadja. Jika jilid pertama menghimpun karangan Hidayat yang tersebar di media dan jurnal (periode 1974-1997), maka jilid kedua ini menghimpun karangan Hidayat yang tersebar di puluhan buku bunga rampai, yang terbit antara 1980 hingga 2003. Bagi mereka yang telah mengenal gagasan Hidayat, dokumen ini bisa membantu mengumpulkan serpih-serpih pemikiran Hidayat yang tidak mudah terlacak. Sementara, bagi mereka yang baru tertarik mempelajari Hidayat, dokumen ini bisa membantu meringkaskan bangun pikiran Hidayat sebelum membaca langsung buku-buku utama karyanya, yang pernah disebut Kuntowijoyo sebagai "sulit untuk dibaca". Hidayat adalah pemikir paripurna yang membangun gagasannya secara utuh. Meski gagasan Ekonomi Pancasila hanya lekat dengan nama Mubyarto, tak banyak yang menyadari bahwa jika tak melibatkan pemikiran filsafat Hidayat, gagasan tersebut secara keilmuan bersifat non-sense. Hidayat adalah satu-satunya di antara para proponen Ekonomi Pancasila yang mencoba membangun filsafat ilmu, yang disebutnya sebagai Filsafat Ilmu Pengetahuan Keperiadaan. Dokumen ini, di antaranya, mengarsipkan tiga karangan Hidayat dalam tiga seminar Ekonomi Pancasila, baik di UGM (September 1980 dan 1981) maupun di Dewan Pertahanan Keamanan/ Depdagri (Juni 1981). Gagasan Ekonomi Pancasila pernah menjadi polemik nasional pada hampir sepanjang tahun 1981 (arsip polemik ini sedang dalam proses cetak ulang oleh LANSKAP). Dokumen ini, yang dicetak hard cover ekslusif, hanya bisa didapat melalui pemesanan langsung ke "Pusat Kajian & Dokumentasi Karya Hidayat Nataatmadja" via email (melanjutkan.indonesia@gmail.com).
Esai untuk Hidayat
Peneliti Pusat Studi Pancasila UGM; Anggota Dewan Pengurus Mubyarto Institute
Tradisi keilmuan di Indonesia barangkali memang tidak dihidupi oleh kegairahan untuk membangun otentisitas. Indikasinya bisa dilihat dari miskinnya kegiatan kritik teori maupun tiadanya tendensi strukturasi teori baru yang dilakukan oleh para sarjana kita. Kegiatan penelitian maupun penalaran didominasi oleh vak verifikasi, yang pada dasarnya hanya mempraktikkan, lalu menegaskan kembali gagasan orang lain. Hampir tidak ada problematisasi serius atas berbagai persoalan keilmuan. Seandainyapun ada sebentuk kegiatan kritik teori, maka kegiatan tersebut pun pada dasarnya sukar dibedakan dari sekadar epigon atas pergulatan kritik serupa yang dilakukan para sarjana di luar negeri. Jadi, seandainya ada, atau pernah ada, kritik itu hadir tanpa problematisasi yang otentik.
Bagi sebagian orang, tendensi otentisitas barangkali tidak relevan dibicarakan dalam kegiatan keilmuan. Apalagi, sejarah kelahiran dunia universiter di kita memang pertama-tama bukan untuk melahirkan pencerahan, melainkan sekadar untuk menyediakan ambtenaar, para pekerja di birokrasi pemerintahan. Sehingga, fungsi perguruan tinggi tidak pernah beranjak dari produsen tenaga kerja, dan bukannya produsen ilmu pengetahuan. Sebagaimana bisa kita lihat pada berbagai perbincangan yang menyoal state of the art ilmu sosial di Indonesia, seperti yang pernah mengemuka di tahun 1970-an dan awal 1980-an, sebagian besar sarjana kita berpendirian bahwa tidak ada yang salah dengan ilmu dan teori, yang keliru adalah penerapannya; sehingga mempersoalkan keabsahan ilmu dan teori adalah pekerjaan yang tidak berguna.
Namun, tentu saja itu adalah pendapat yang sepenuhnya salah. Bahkan sangat salah karena secara tak sadar sedang mendudukkan positivisme sebagai proto dari state of the art keilmuan itu sendiri. Hidayat Nataatmadja (1932-2009), terlepas dari kesepakatan atau ketidaksepakatan orang terhadap hasil pemikirannya, adalah satu dari sedikit orang yang gigih melakukan perlawanan terhadap kejumudan dunia kesarjanaan. Melalui sikap otonom yang teguh, Hidayat berusaha membongkar benteng regularitas diskursif. Dia hanya ingin mengajukan dan mempersoalkan apa-apa yang belum pernah diajukan dan dipersoalkan orang lain, demikian tulisnya suatu ketika.
Memang, setiap pemikir berdiri di atas pundak pemikir lainnya, sama seperti halnya setiap tradisi kesarjanaan bertumpu di atas tradisi kesarjanaan pendahulunya yang lebih klasik. Tapi kait-kelindan itu bukan pembenaran terhadap perayaan—meminjam Galbraith—conventional wisdom dan pemujaan terhadap—mencuri Kuhn—normal science. Seperti diimani Borges, setiap pengutip Shakespeare adalah Shakespeare itu sendiri. Dan ilmu pengetahuan, hampir serupa sastra, membangun dirinya dari model serupa itu: penciptaan yang terus-menerus, karena pada dasarnya setiap orang adalah pencipta.
Pada diri Hidayat, etos itu hadir sangat kental. Apalagi, bagi Hidayat, kebudayaan adalah rumah pikiran, sehingga setiap tradisi keilmuan mestinya berakar di kebudayaan inangnya. Tapi tidak berarti Hidayat tak jernih dalam memahami distingsi ihwal universalitas dan partikularitas. Persoalan universalitas dan partikularitas itu justru merupakan salah satu kata kunci dari segepok hasil pemikirannya. Kemanusiaan, misalnya, mungkin bersifat universal. Tapi bagaimana kemanusiaan itu dipelihara, pastinya itu bersifat partikular. Ini sama seperti halnya bahwa semua manusia lahir ke dunia dalam keadaan telanjang. Dengan apa ia akan menutupi tubuh telanjangnya, sangat tergantung pada dimana ia lahir. Bayi yang lahir di kutub barangkali harus dibungkus dengan mantel bulu yang tebal, sementara bayi yang lahir di pesisir Jawa cukup ditutupi jarik tipis. Dan persis di titik partikular itu otonomi kesarjanaan dan tendensi otentisitas, sebagaimana yang melingkupi pemikiran Hidayat, menemukan relevansinya.
Tentu saja otentisitas dalam dunia keilmuan sebagaimana yang dihidupi Hidayat berbeda dengan, misalnya, otentisitas sebagaimana yang diimani dalam karya kesenian. Otentisitas dalam dunia keilmuan, meminjam istilah Daoed Joesoef (1986), adalah otentisitas dalam hal menemukan tata-hubungan prioritas yang baru yang lebih memuaskan dalam memberikan pemahaman terhadap sesuatu . Newton dikatakan telah menyumbang pengetahuan karena analisis ilmiahnya mampu menunjukkan hubungan antara gerakan bulan dan benda-benda langit dengan jatuhnya buah apel. Padahal, gerakan benda-benda langit merupakan pengetahuan astronomis yang sudah lazim, bahkan sejak masa yang lebih lampau. Artinya, gagasan Newton sebenarnya berangkat dari bahan-bahan yang telah lazim diketahui, hanya tata-hubungan dan struktur yang dikemukakan bersifat baru.
Tanpa tendensi otentisitas, ilmu pengetahuan sekadar menjadi kegiatan adopsi, verifikasi, yang pada akhirnya hanya membebek pada kebakuan. Pada titik itu, dunia kesarjanaan sebenarnya sedang sebatas mendudukkan ilmu pengetahuan sekadar sebagai produk yang tinggal dikonsumsi, bukan sebagai proses yang terus-menerus diolah.
+ + +
Bagi generasi yang dilahirkan sesudah dekade 1980-an, Hidayat adalah khazanah intelektual yang terselip. Namanya hampir tidak tercatatkan. Tapi memang, dalam semua tradisi keilmuan, selalu dibutuhkan orang besar untuk memperkenalkan orang besar lainnya, dimana ke-besar-an dalam dunia keilmuan dipelihara melalui siklus bertukar simak dan kaji. Dan tradisi kesarjanaan di Indonesia, apa lacur, tidak mengenal keduanya: keterbukaan untuk menyimak, dan ketekunan untuk mengkaji, yang menjadi prasyarat bagi lahirnya pemikir dan pemikiran besar.
Untuk memahami gagasan Hidayat memang dibutuhkan sebuah ketekunan sekaligus empati intelektual yang tinggi, karena gagasan-gagasannya dituliskan dalam banyak sekali buku dan dalam bahasa yang seringkali “tidak lazim”. Kalau menyimak judul buku-bukunya, menurut ukuran masa kini, atau menurut kebiasaan yang menguntit, dengan mudah kita akan menemukan “ketidaklaziman” itu. Tanpa empati-intelektual, kita akan dengan mudah terpeleset menuduh Hidayat sekadar sedang mencari sensasi, atau memancing kontroversi, sehingga pada akhirnya meluputkan substansi serta argumentasi kokoh yang dengan sangat serius sebenarnya sedang coba dia tuturkan. Begitu juga, dengan tanpa ketekunan untuk menyimak keseluruhan karya-karyanya, kita hanya akan menemukan penggalan-penggalan gagasan penting yang tidak padu. Bangunan penting gagasan Hidayat tersimpan (kadang tersembunyi) dengan rapi dalam keseluruhan karyanya, yang meskipun ada berbagai pengulangan dalam tiap tulisannya, pembaca yang tekun akan menemukan bahwa ada lebih banyak lagi argumen dan uraian penting yang tidak dia tuturkan ulang pada tulisan-tulisannya yang lebih kini. Tanpa menyimak keseluruhan karyanya, kita mungkin hanya akan ketemu kesimpulan-kesimpulan tanpa argumentasi, karena berbagai argumen yang mendasari kesimpulan-kesimpulan itu sudah dia paparkan dalam karya-karyanya yang telah silam.
+ + +
Selasa, 13 Januari 2009, lebih dari setahun silam, Hidayat berpulang, setelah sebelumnya selama lebih dari satu semester bolak-balik ke rumah sakit karena berbagai komplikasi. Tak ada satu obituaripun yang mengantarkannya. Tapi sebenarnya yang dibutuhkan oleh Hidayat memang bukan sebuah obituari, melainkan sebuah ucapan selamat datang. Ketika beberapa bekas murid Hidayat, yang kini telah profesor, mengabari untuk memperkenalkan lagi pemikiran gurunya, itu mungkin adalah ucapan yang lama ditunggunya.
Selamat datang kembali ke dunia universiter, Pak Hidayat!
Yogyakarta, Januari 2010