Berikut adalah sejumlah pesan yang saya terima dari sahabat, kolega, dan murid beliau, sesaat setelah kabar duka tersebar.
Prof. Sri-Edi Swasono, Guru Besar FE-UI
"Ikut berduka cita sedalam-dalamnya atas berpulangnya ke Rahmatullah saudaraku Hidayat Nataatmadja, semoga Allah menerimanya."
Prof. Bustanul Arifin, Guru Besar Ekonomi Pertanian Unila
"Inalillah, saya ikut berduka. Ekonomi Indonesia telah kehilangan seorang pejuangnya."
Prof. Komarudin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
"Yakin dan berdoa, almarhum telah mudik duluan ke kampung Ilahi yang jauh lebih indah, damai, dan membahagiakan. Saya yakin banyak warisan amal jariyah berupa ilmu dan amalnya."
Prof. Mahmud Thoha, Kepala Pusat Penelitian Ekonomi LIPI
"Semoga beliau dimasukan ke dalam Jannatun Na'im. Amien."
Dr. Daniel Dhakidae, cendekiawan, mantan Kepala Litbang Kompas
"Semoga dia beristirahat dalam damai."
Gunawan Wiradi, cendekiawan, ahli agraria
"Ikut berduka cita atas berpulangnya Dr. Hidayat Nataatmadja. Semoga Allah SWT memberikan tempat yang terbaik baginya, dan keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan. Amien."
Ichsanuddin Noorsy, anggota Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM
"Ikut duka cita. Semoga amal baik dan ilmu yang ditinggalkan menjadikan almarhum berada di tempat yang baik."
Charis Zubair, Dosen Fakultas Filsafat UGM
"Semoga husnul hotimah. Amalnya diganjar berlipat ganda, dosanya diampuni Allah SWT. Amien."
Dan lain-lain. (TN)
13 Januari 2009
Selamat Jalan, Guru!
Petang tadi, sekira pukul 14.50, Pak Hidayat telah berpulang. Sejak didera sakit pada Agustus 2008 lalu, kesehatannya memang terus-menerus turun. Ketika berkunjung ke Jogja medio Mei 2008 lalu, untuk memperingati Satu Abad Kebangkitan Nasional, tubuhnya memang masih tegap, tapi dia tak lagi bisa pakai sepatu waktu itu. Diabetes telah menggerogoti kakinya dengan sekian luka. Ketika saya ajak naik motor untuk ketemu dengan Revrisond Baswir di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, dia juga tak bisa duduk ajeg di jok. Dia duduk dalam posisi agak mengangkang, karena luka-luka itu nampaknya tak hanya menjalar di satu tempat.
Lebih dari tiga hari beliau menginap di Jogja. Selama itu, seperti biasa, beliau akan meminta dipertemukan dengan Pak Damardjati Supadjar, Emha Ainun Nadjib, dan main ke Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan, lembaga yang didirikan sohibnya, almarhum Mubyarto. Setelah dari Jogja, beliau pergi ke Solo untuk mengajar. Hingga bulan itu, beliau masih mengajar di Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Itu adalah kali terakhir beliau mampir ke Jogja, dan kali terakhir mengajar di Solo. Tubuhnya tak lagi mampu mendukung pikirannya yang tak pernah berhenti mengeluarkan ide-ide baru dan menghidupi ide-ide klasiknya. Petang tadi beliau berpulang.
Saya baru pulang dari kampus petang tadi. Pak Asror yang pertama mengabari kepergian beliau persis di menit-menit pertama kepulangannya. Lidah saya kelu. Persis pada hari ketika akhirnya saya bisa ujian sarjana, beliau berpulang.
Saya ingat, pada September 2007 lalu beliau menulis sebuah surat yang dikirimkan ke pembimbing saya, Profesor Maksum, yang intinya meminta agar saya tidak di-drop out dari kampus, karena beliau tahu jatah studi saya sudah habis. Beliau juga mengusulkan topik revisi untuk tugas akhir saya, yang katanya lebih mudah agar saya bisa cepat lulus. Tapi surat itu tidak pernah saya sampaikan ke pembimbing. Setiap kali ketemu, karena tiap bulan beliau mengajar di Solo, beliau tak pernah lupa mengingatkan agar saya segera menyelesaikan kuliah. Beberapa buku dikirimkannya ke saya, untuk mendukung topik pembangunan desa yang diusulkannya. Bukannya saya tulis menjadi tugas akhir, sumbangan literatur itu malah saya tulis menjadi buku yang kini sudah terbit Pembangunan Desa: Dari Modernisasi ke Liberalisasi, 2008).
Dua malam lalu, Minggu (11/01/09), jelang tengah malam Pak Asror--yang selalu setia menunggunya, mengabari kalau satu jam sebelumnya Pak Hidayat minta didudukan di depan komputer. Dengan seluruh kesakitannya beliau ingin melihat dan memeriksa lagi tulisan-tulisan terakhirnya yang belum diterbitkan. Sungguh, tanpa menyaksikan langsung, saya bisa melihat itu adalah sebentuk keteguhan pengabdian yang mengharukan. Beliau mendedikasikan hidupnya untuk ilmu pengetahuan yang mencerahkan, ilmu yang beriman.
Selamat jalan, Guru. Semoga ilmu dan amalmu turut menerangi jalanmu di sisi-Nya. Inalillahi wainailaihi rojiun. (TN)
Lebih dari tiga hari beliau menginap di Jogja. Selama itu, seperti biasa, beliau akan meminta dipertemukan dengan Pak Damardjati Supadjar, Emha Ainun Nadjib, dan main ke Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan, lembaga yang didirikan sohibnya, almarhum Mubyarto. Setelah dari Jogja, beliau pergi ke Solo untuk mengajar. Hingga bulan itu, beliau masih mengajar di Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Itu adalah kali terakhir beliau mampir ke Jogja, dan kali terakhir mengajar di Solo. Tubuhnya tak lagi mampu mendukung pikirannya yang tak pernah berhenti mengeluarkan ide-ide baru dan menghidupi ide-ide klasiknya. Petang tadi beliau berpulang.
Saya baru pulang dari kampus petang tadi. Pak Asror yang pertama mengabari kepergian beliau persis di menit-menit pertama kepulangannya. Lidah saya kelu. Persis pada hari ketika akhirnya saya bisa ujian sarjana, beliau berpulang.
Saya ingat, pada September 2007 lalu beliau menulis sebuah surat yang dikirimkan ke pembimbing saya, Profesor Maksum, yang intinya meminta agar saya tidak di-drop out dari kampus, karena beliau tahu jatah studi saya sudah habis. Beliau juga mengusulkan topik revisi untuk tugas akhir saya, yang katanya lebih mudah agar saya bisa cepat lulus. Tapi surat itu tidak pernah saya sampaikan ke pembimbing. Setiap kali ketemu, karena tiap bulan beliau mengajar di Solo, beliau tak pernah lupa mengingatkan agar saya segera menyelesaikan kuliah. Beberapa buku dikirimkannya ke saya, untuk mendukung topik pembangunan desa yang diusulkannya. Bukannya saya tulis menjadi tugas akhir, sumbangan literatur itu malah saya tulis menjadi buku yang kini sudah terbit Pembangunan Desa: Dari Modernisasi ke Liberalisasi, 2008).
Dua malam lalu, Minggu (11/01/09), jelang tengah malam Pak Asror--yang selalu setia menunggunya, mengabari kalau satu jam sebelumnya Pak Hidayat minta didudukan di depan komputer. Dengan seluruh kesakitannya beliau ingin melihat dan memeriksa lagi tulisan-tulisan terakhirnya yang belum diterbitkan. Sungguh, tanpa menyaksikan langsung, saya bisa melihat itu adalah sebentuk keteguhan pengabdian yang mengharukan. Beliau mendedikasikan hidupnya untuk ilmu pengetahuan yang mencerahkan, ilmu yang beriman.
Selamat jalan, Guru. Semoga ilmu dan amalmu turut menerangi jalanmu di sisi-Nya. Inalillahi wainailaihi rojiun. (TN)
Langganan:
Postingan (Atom)