Dr. M. Supraja
Dosen Jurusan Sosiologi FISIPOL UGM
Tidak banyak generasi muda muslim yang mengenal Dr. Ir. Hidayat Nataadmaja (lahir di Serang, Banten, 15 September 1932). Apalagi cendekiawan muslim lulusan Universitas Hawaii ini banyak melontarkan gagasan-gagasan orisinal dan reformisnya pada dekade 1980-an, sebuah periode yang telah lama lewat. Pada tahun-tahun itu Hidayat Nataadmadja dikenal sebagai salah seorang cendekiawan muslim kenamaan, sama seperti Kuntowijoyo, A.M. Saefuddin, Amien Rais, Immaddudin Abdurahim, Dawam Rahardjo, dan lain-lain. Di masa itu pikiran-pikirannya, selain dituangkan dalam puluhan buku yang ditulisnya (seperti Karsa Menegakan Jiwa Agama dalam Dunia Ilmiah [1982], Pemikiran ke Arah Ekonomi Humanistik [1984], dan Kebangkitan Al-Islam [1985]), juga muncul dalam berbagai diskusi dan seminar, salah satunya adalah pada sebuah acara Dialog Ramadhan yang saya ikuti, yang berlangsung pada sebuah minggu pagi di kampus UGM, lebih dari dua dekade silam.
Sebagai mahasiswa baru, saya waktu itu belum begitu memahami gagasan-gagasannya yang penting dan banyak diperbincangkan orang. Selama memperkenalkan gagasan-gagasan orisinalnya kepada publik, berbagai cemooh, dan pandangan kontra dari berbagai kalangan, kerap dia peroleh, terutama dari sesama pemikir yang sejak awal tak berminat memahami gagasannya, melainkan lebih mengedepankan sikap apriori bahkan curiga terhadapnya. Penulis sendiri awalnya, setelah lama tidak mendengar namanya di berbagai forum diskusi, tidak juga tergerak untuk mencari tahu apa dan bagaimana corak pemikiran Hidayat Nataadmadja. Namun, setelah saya gemar membaca karya-karya yang menggugah dari pemikir-pemikir kenamaan dunia, seperti Marx, Kuhn, Gurdjief, Capra, Gary Zukav, dan lain-lain, teringat kembali oleh saya nama Hidayat Nataadmadja. Ketika itu penulis mulai bertanya-tanya kepada diri sendiri tentang ide-ide seperti apa yang pernah dikemukakan Hidayat Nataadmadja di tahun 1980-an, serta apa yang spesifik pada gagasannya sehingga menjadi diskusi banyak orang ketika itu.
Diawali dengan membaca sebuah buku koleksi pribadi karya Hidayat Natadmadja berjudul Kebangkitan Al-Islam (1985), saya mulai menelusuri pemikiran yang pernah dikemukakannya di tahun ’80-an itu. Di dalam buku itu ternyata terdapat gagasan-gagasan mendasar yang penting untuk direnungkan dan ditelaah secara mendalam. Tesis besar pemikirannya adalah bagaimana mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan agama. Dalam konteks itu ia tidak membicarakan agama dalam arti ritual, namun ia lebih banyak melihat agama dari sisi hakikat ketuhanan. Integrasi semacam itu begitu penting menurutnya, dan upaya dan perdebatan kearah itu sesungguhnya pernah berlangsung di dalam tradisi pemikiran Islam, misalnya tercermin dalam dialog antara Mazhab Ghazalian yang mewakili pandangan keagamaan yang dogmatis, dan Rushdian yang mewakili pemikiran rasional. Perdebatan dua mazhab pemikiran itu berakhir dengan pemisahan satu dengan yang lainnya, bukan dengan pengintegrasian.
Beberapa isu relevan yang dikemukakan dalam pemikirannya, adalah obyektivitas versus subyektivitas. Baginya obyektivitas berbicara mengenai kenyataan yang ada di luar diri manusia, sedangkan subyektivitas berbicara tentang segala hal yang menyangkut dunia subjektif manusia. Dalam pandangan Hidayat, tidak ada kompas terbaik yang dapat mengenali dan mengarahkan dunia subjektif manusia kecuali hanya wahyu tuhan (Al-Quran). Oleh sebab itu, rasionalitas manusia tidak dapat dijadikan kompas dan alat yang memadai untuk memahami dunia subjektif manusia. Seperti dikemukakannya, ”Jangan sekali-kali anda menggunakan jalur pendekatan rasional untuk mengenal ilmu subyektif, karena kalbu mencerminkan mekanisme spiritual yang menghubungkan Ruh dengan Al-Khalik dan mustahil hubungan itu berlangsung melalui jalur komunikasi rasional.”
Obyektivitas karenanya bukan sesuatu yang dapat berdiri sendiri tanpa subyektivitas. Obyektivitas dan subyektivitas merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Karena tanpa keyakinan atau pembenaran subyek, obyektivitas tidak pernah ada. Perdebatan obyektivitas versus subyektivitas yang dikemukakannya sebenarnya membawa kritik terhadap empirisisme yang sering kali dijadikan dasar kebenaran ilmu pengetahuan.
Dengan mengambil inspirasi dari hukum indeterminisme Heisenberg, yang menunjukkan variasi atau tingkatan-tingkatan kenyataan, seperti benda-sebagaimana-dipikirkan, benda-sebagaimana-dirasakan, dan benda-sebagaimana-adanya. Gagasan ini melahirkan makna pluralitas kepribadian, yaitu (1) anda menurut pikiran anda; (2) anda menurut perasaan anda; dan (3) anda apa adanya. Hidayat menunjukkan adanya jenjang-jenjang kesadaran yang diturunkannya dari hukum keperiadaan kedirian. Pertama, adalah kesadaran keperilakuan (behavioural). Pada tingkat keperilakuan, manusia hanya sadar dalam arti keperiadaan materi, kesadaran semu, kesadaran Marxian, alias kesadaran yang tenggelam dalam dunia materi. Kedua, tingkat keperirasaan (supra-sensual). Pada tingkat keperirasaan ini, baru manusia mengenal kemandirian kesadaran dirinya, bahwa kesadaran lebih tinggi dari pada sekedar hasil rangsangan inderawi dan pengalaman empiris. Di level ini, manusia mulai bisa mengalami bagaimana dengan kesadarannya dia bisa mengatasi dan menaklukkan dunia empiris, bisa melepaskan diri dari belenggu dan perangkap dunia materi. Ketiga, tingkat keperiadaan (eksistensi). Pada tingkat keperiadaan manusia menyadari hakekat dirinya sebagai makhluk yang di-ada-kan. Dia mulai mengenal eksistensi ketuhanan yang menciptakannya. Sampailah ia pada pengalaman iman, takwa dan tauhid.
Memahami jenjang-jenjang kesadaran dan keunikan sistem kedirian sebagaimana dikemukakan di atas merupakan sesuatu yang dapat menjadi landasan berpikir yang penting sekali. Terutama sebagai acuan untuk merumuskan konsep pemikiran yang lebih utuh tentang berbagai dimensi yang terdapat pada diri manusia. Tiga jenjang kesadaran manusiawi itu perlu dielaborasi lebih lanjut ke dalam berbagai bidang keilmuaan, terutama ilmu sosial dan humaniora. Pandangan konseptual ini akan memperkaya, memperluas pilihan-pilihan yang bisa diformulasikan dan diacu untuk mendorong perbaikan kualitas kemanusiaan. Konsep-konsep tersebut pada akhirnya akan berpengaruh terhadap aspek kelembagaan yang menjadi lingkungan sosial kehidupan manusia.
Gagasan-gagasan yang telah dikemukakan Hidayat sesungguhnya perlu dielaborasi dan dikembangkan lebih lanjut. Pertanyaan-pertanyaan lanjutan masih perlu digulirkan. Konsep-konsep dan teori-teori juga perlu dikembangkan berdasarkan gagasan-gagasan dasar yang berhasil dirumuskannya. Tanpa usaha dan komitmen untuk mendayagunakan warisan pemikirannya, bisa dipastikan bahwa warisan pemikiran yang merupakan hasil perenungan dan kerja intelektualnya yang panjang itu akan menjadi sia-sia. Oleh sebab itu, untuk mendayagunakan warisan pemikirannya secara maksimal berbagai langkah perlu secepatnya dilakukan, antara lain dengan membangun pusat studi yang menghimpun berbagai karya intelektual yang dihasilkannya, membentuk komunitas ilmiah yang terus menerus mengkaji dan mendiskusikan warisan pemikirannya, dengan demikian sehingga gagasan pemikirannya berevolusi. Selain itu, menstimulasi generasi muda untuk mengenal dan memahami pemikirannya dengan emosi ketuhanan.
Hidayat Nataatmadja, pemikir asketik itu, yang buah-buah pemikiran cemerlangnya hingga kini belum juga disadari oleh publik kesarjanaan tanah air, telah berpulang pada Selasa, 13 Januari 2009 lalu, di kediamannya di Bogor. Dia masih produktif menuliskan gagasannya hingga akhir hayatnya. Hampir sepuluh buah buku ditulisnya dalam lima tahun terakhir. Saat berpulang, dia masih mengerjakan dua buku yang belum sempat diterbitkan. Mengingat buah kerjanya, kepergian Hidayat seharusnya merupakan sebuah kehilangan besar bagi kita, tapi nyatanya setelah lewat 40 hari (22/02/09) tidak ada satu obituaripun yang mengantarkan kepulangannya.
Selamat jalan, Pak Hidayat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar